Gender = Perempuan : Laki-laki !!!

Berbicara soal gender maka kita akan membahas tentang laki-laki dan perempuan. Apa itu Gender? Mengapa gender dibicarakan? Dan Apa maksudnya ketidakadilan gender?
Pengertian Gender
Bila mendengar kata gender di daerah Nias, khususnya di desa- desa yang agak jauh dari kota, mungkin agak asing didengar. Tetapi bagi kalangan masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan luas, hal ini sudah biasa. Yang dimaksud dengan Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,hak, tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Maka kesetaraan dan keadilan adalah proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan Perempuan.
Rupanya, tanpa disadari di daerah dan di lingkungan kita saat ini, telah terjadi ketidak setaraan dan ketidak-adilan gender. Mengapa? Bila kita bertolak dari pengertian gender di atas maka dari segi tata nilai sosial budaya dan adat istiadat di Nias sudah jelas bahwa semua peran, fungsi, hak dan tanggungjawab lebih di dominasi oleh laki-laki.
Bila kita menoleh sejenak ke belakang di bawah tahun delapan puluhan, perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh anak, memasak untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau mengikuti saja apa yang telah diputuskan oleh ayah / suami. Kesempatan untuk mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh karena kemajuan pendidikan dan pengalaman, ada juga keluarga yang tidak hanya didominasi oleh laki-laki atau suami/ayah, tapi jumlahnya masih sedikit.
Mengapa Gender dibicarakan?
Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Allah. Perempuan adalah mitra laki-laki. Tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.Terlebih lebih di daerah Nias yang masih terikat adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi Patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki. Bukankah hal semacam ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan? Tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam peran dan hak-haknya.
Beberapa contoh kasus yang dihadapi oleh perempuan di Nias terutama di desa-desa antara lain: (1) Berpendidikan rendah. Anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya melanjutkan sekolah di SMP/SMU, apalagi ke Perguruan Tinggi. Mereka haya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki. Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam keluaraga menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi. Dalam hal ini yang ditugaskan untuk itu adalah anak perempuan. Mereka harus mengurus dan memelihara sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan, karena perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya. Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan dengan dalih kodrat; (2) Tidak boleh menentukan pasangan hidup atau jodohnya sendiri. Peranan orangtua dalam menentukan jodoh anaknya sangatlah besar, terutama kepada anak perempuan. Ada juga orangtua yang tidak mau kalau anaknya perempuan belum kawin sebelum berumur 20 tahun. Mengapa? Mereka memandang bahwa perempuan yang sudah melewati umur tersebut sudah menyandang sebutan perawan tua. Umur yang menurut mereka baik untuk berkeluarga adalah mulai dari 14 ke sampai tahun. Banyak perempuan yang sudah kawin sejak umur 14 tahun, bahkan ada juga yang berumur di bawahnya. Dalam hal kesehatan, ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu, sebab umur tersebut masih terlalu muda untuk memproduksi/ melahirkan. Akibat dari perkawinan ini, maka lahirlah keluarga baru yang tidak didasari cinta atau suka sama suka. Dan tidak sedikitnya banyak suami yang pergi merantau meninggalkan istri, bahkan ada juga yang tidak mau pulang. Hal ini terjadi akibat kurang matangnya pemikiran dan rasa tanggungjawab dalam berumah tangga; (3) Kawin paksa juga sudah menjadi tradisi. Banyak alasan mengapa terjadi kawin paksa. Umpamanya, orangtua perempuan memaksa anaknya untuk kawin supaya ia mendapat penghormatan dari orang lain, segera mendapat cucu, merasa berutang budi kepada pihak laki-laki, meringankan beban keluarga, calon menantu kebetulan orang kaya sehingga derajatnya di tengah masyarakat akan meningkat, dan masih banyak alasan lain; (4) Tidak berhak mengemukakan pendapat. Sesuai dengan kebiasaan di Nias, perempuan tidak boleh angkat bicara, sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami pulang atau bila ada ayah mertuanya, maka itulah yang bisa membantu memberi keputusan. Dalam musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki; (5) Anak perempuan tidak membawa rejeki. Bila seorang ibu melahirkan anak pertama yaitu perempuan, maka keluarga tersebut akan sangat kecewa, sebab yang paling diharapkan lahir adalah anak laki-laki yang dianggap sebagai pembawa rejeki dan generasi penerus. Perempuan dianggap kurang penting, inferior, dan tidak berkompeten memegang satu jabatan; (6) Peminggiran terhadap Janda dan Perawan Tua. Bagi perempuan yang sudah menyandang status janda dan perawan tua sudah barang tentu mereka kurang diperhitungkan dan difungsikan dengan alasan kurang mampu apalagi bila kondisi sosial ekonomi yang tidak memadai. Begitu juga dengan perawan tua, dalam setiap pesta adat misalnya pesta perkawinan, maka pada saat pembagian jatah makanan ‘urakha,‘ nama mereka tidak pernah disebutkan; (7) Pemuas kaum lelaki. Suami menjadi pencari nafkah utama. Karena itu, suami merasa berkuasa terhadap istri. Istri diberi tugas melayani suami, mengasuh anak, memasak, berusaha supaya selalu terjadi keharmonisan dalam keluarga, tetapi suami tidak pernah memperdulikan kalau istri memberi nasehat supaya jangan sering pulang malam, pulang dalam kondisi mabuk, jangan sering nongkrong di warung tuak, dll. Bila istri bertahan, maka suami sering kali melakukan tindakan kekerasan terhadap isteri; (8) Tidak diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstra di luar rumah; (9) Mengalami kekerasan. Perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual. Bila seorang perempuan hamil di luar nikah, maka orangtuanya akan mengawinkannya dengan lelaki yang lain, bukan kepada lelaki yang sudah menodainya. Pada persoalan ini kepada laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap si perempuan, seakan-akan diberi dispensasi untuk tidak mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Masih banyak contoh lain.
Berdasarakan kenyataan di atas, maka telah terjadi ketidak-adilan gender. Telah terjadi ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan.
Secara garis besar, ada 5 (lima) bentuk ketidak-adilan gender: (1) Marginalisasi, yaitu: Pemiskinan atau peminggiran peran perempuan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini bisa disebabkan oleh: (a) Miskin karena di miskinkan; (b) Timbul karena ideologi patriarkat, yang selalu memberi kedudukan yang lebih tinggi kepada laki-laki; (c) Menyudutkan perempuan ke posisi yang menyudutkan; (d) Mempersempit peluang atau kesempatan kepada perempuan. (2) Subordinasi, yaitu: Adanya anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, tidak perlu memegang jabatan yang terlalu tinggi; (3) Stereotipe (citra baku), artinya: Ciri perempuan yang sudah dikonstruksi/dibentuk oleh manusia, dan timbul pandangan untuk membakukannya. Contohnya, merawat anak, memasak, dan menjaga keutuhan keluarga; (4) Beban ganda, maksudnya: Perempuan mempunyai beban pekerjaan di luar rumah dan sekaligus beban tanggungjawab diri sendiri, keluaga dan masyarakat; (5) Kekerasan, maksudnya: Perempuan adalah korban tindak kekerasan yang berupa fisik misalnya: pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan terhadap istri.
Kelima bentuk ketidak-adilan di atas hampir sudah merasuki kehidupan kita kaum perempuan. Maka patutlah kita sebagai perempuan mulai sekarang menyadari bahwa: (a) Kaum laki-laki hendaknya menghormati dan menghargai peran perempuan yang pada zaman ini sama pentingnya dengan laki-laki; (b) Kaum perempuan harus terus berjuang memikirkan dan berusaha menggunakan peluang dan kesempatan untuk terpanggil dalam dunia publik; (c) Kaum perempuan harus mendukung semua gerakan dan program yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk mendapat tempat / kedudukan yang wajar; (d) Kaum perempuan perlu mengorganisasikan diri. Untuk organisasi perempuan yang sudah ada diharapkan untuk meningkatkan mutunya supaya dapat menjadi tempat untuk melatih diri kaum perempuan secara profesional, yang tidak memandang golongan, jenis kelamin, suku dan agama.
Ketidak-adilan gender ini seharusnya secara pelan-pelan dihapuskan. Bagaimana caranya? Hal ini tidak mungkin instant, butuh waktu, perjuangan dan proses!
Bagaimana supaya kesetaraan dan keadilan Gender dapat terwujud? Hendaklah hal ini dimulai dari skop kecil yaitu dalam keluarga kita sendiri. Mulai dari hal kecil bagaimana menempatkan hak anak baik laki-laki maupun perempuan, memberi pemahaman yang sama kepada seluruh anggota keluarga akan peran dan tugas secara adil dari setiap aspek kehidupan keluarga. Menanamkan perasaan kesamaan hak dan kewajiban, kesempatan dan kedudukan dalam diri anak. Menciptakan suasana keluarga yang saling menghargai sikap dan perilaku serta saling mengerti akan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Seluruh anggota keluarga harus ikut berperan dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Posted in . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.